Iklan

terkini

Penambangan Raja Ampat: Ujian Nyata Komitmen terhadap Pancasila

Redaksi Solo
6/11/25, 21:34 WIB Last Updated 2025-06-11T14:41:09Z
Opini Saka Mahardika Oktav Nugraha Dosen MKU Unimus Semarang/Foto : Saka


REDAKSISOLO.COM - Raja Ampat adalah mahakarya alam yang menjulang dari ujung timur Indonesia. Lautannya menyimpan keanekaragaman hayati luar biasa, dan bentang alamnya ibarat lukisan Tuhan yang turun ke bumi. Namun kini, keindahan itu berada di ambang kehancuran akibat praktik penambangan yang mengancam kelestarian lingkungan dan kearifan lokal masyarakat Papua.

Lebih dari sekadar isu lingkungan, wacana penambangan di Raja Ampat merupakan tamparan keras terhadap nilai-nilai dasar bangsa yang terkandung dalam Pancasila. Jika negara benar-benar menjunjung tinggi Pancasila sebagai dasar dan ideologi, maka tidak semestinya membiarkan eksploitasi yang menggerus martabat bumi Papua.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga ciptaan Tuhan. Merusak alam demi keuntungan sesaat adalah bentuk pengingkaran terhadap amanah Ilahi. Kerusakan lingkungan bukan hanya berdampak ekologis, tetapi juga spiritual — terutama bagi masyarakat Papua yang menjadikan alam sebagai bagian dari identitas dan nilai sakral.

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, berbicara tentang perlakuan yang manusiawi terhadap sesama dan seluruh ciptaan. Ketika hutan digunduli dan laut dicemari, yang tercederai bukan hanya alam, tetapi juga hak hidup masyarakat adat yang bergantung padanya. Mereka tidak hanya kehilangan sumber penghidupan, tetapi juga warisan budaya dan spiritualitas yang tak ternilai.

Lebih lanjut, sila ketiga, Persatuan Indonesia, menuntut hadirnya harmoni antara daerah, antar manusia, dan antara manusia dengan alam. Ketika segelintir pihak memperoleh keuntungan sementara masyarakat lokal menanggung dampaknya, maka semangat persatuan itu terancam oleh ketimpangan dan ketidakadilan struktural.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengingatkan bahwa pembangunan harus berpihak kepada rakyat, bukan kepada kepentingan korporasi atau elit ekonomi. Sayangnya, masyarakat adat sering kali dikesampingkan dalam proses perizinan, konsultasi, hingga pembagian manfaat dari eksploitasi alam di wilayah mereka sendiri.

Pertanyaannya: masih pantaskah kita menyuarakan Pancasila di ruang-ruang pendidikan dan seremoni kenegaraan, jika dalam praktik kita membiarkan nilai-nilainya dikhianati demi kepentingan jangka pendek?

Pancasila bukan sekadar dokumen normatif atau simbol yang dipajang di dinding sekolah. Ia adalah kompas moral dan arah kebijakan negara. Oleh karena itu, membela Raja Ampat bukan hanya soal menyelamatkan lingkungan, tetapi juga menyelamatkan marwah Pancasila itu sendiri.

Kini, waktunya kita bersuara lebih lantang. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakannya pada masa depan, bukan pada eksploitasi. Lindungi Raja Ampat. Lindungi Pancasila.

Penulis : Saka Mahardika Oktav Nugraha, S.Pd., M.Pd.

Dosen MKU Universitas Muhammadiyah Semarang


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Penambangan Raja Ampat: Ujian Nyata Komitmen terhadap Pancasila

Terkini

Iklan